Mengenal Kaum Miskin Urban, Tidak Punya Duit Tapi Pengen Terus Eksis




Ditulis oleh Marli Haza Pada 27 Juni 2016

(Catatan editor: Ini adalah terjemahan dari artikel "he Urban Poor You Haven’t Noticed: Millennials Who’re Broke, Hungry, But On Trend" ditulis Gayatri Jayaraman pada halaman artikel BuzzFeed pada 5 Mei 2016. artikel asli di negara bagian India . nama sebaliknya, mata uang, dan aspek lain dari yang sebenarnya menyesuaikan di India).

Anak-anak berpikir bahwa untuk membuat banyak uang, kita harus menghabiskan banyak uang

Saya mulai menyadari ini secara terkejut pemenang kontes kecantikan nasional tampil di klub malam remang-remang di Santa Cruz West. Kata seorang teman yang membawa saya di sana, dia mulai bekerja di sana ketika ia sedang menunggu lowongan di Bollywood. Untuk mendapatkan bagian, ia sering terlihat berjalan di karpet merah dan bar, sehingga ia harus membeli sepatu hak tinggi dan gaun. Pertunjukan demi pertunjukan di klub memberikan banyak uang. Jadilah klub sebagai sumber utama  pendapatan.

Saya tahu seorang manajer pemasaran, melakukan kredit mobil sembrono saat muda, tapi sekarang gaji pertamanya di dalam mobil. gaji habis untuk membayar sewa dan  pembayaran cicilan mobil, tidak ada untuk makan. Dia diparkir di suatu tempat, tapi untungnya Mumbai masih kota yang relatif aman.

Ada juga seorang teman wartawan junior. Untuk sesaat, ia jarang mendapatkan  bekerja. Makin begitu kurus pula. Dia bilang itu karena dia jogging setiap malam. Tapi dia jarang terlihat makan siang, atau minum kopi sepanjang hari, aku baru sadar. (Saya ngeh jika sesuatu yang aneh, karena saya pernah mengalaminya.)

Aku Whatsapp dia. Ini adalah satu-satunya cara untuk chatting pribadi tanpa orang lain tau.

"Kau punya uang untuk makan siang, kan?"

Dia mengatakan bahwa kelaparan jika lebih banyak uang, ia dengan sabar membiarkan laparnya agar bisa datang ke Le Pain Quotidien * untuk membeli diskon sisa sandwich setiap hari untuk 200 rupee atau sekitar Rp40 ribu malam itu.

Dan dengan begitu banyak uang, dia bisa membeli makanan di kantin. Namun dia mengatakan, tidak makan lebih penting daripada melewatkan makan roti di Le Pain Quotidien.

Ini adalah miskin kota, gejala-gejala menjadi kebanyakan orang India lebih dipengaruhi. Mereka benar-benar tidak "miskin". Tapi mereka lapar dan pecah. Ini adalah manifestasi dari masyarakat metropolitan dua puluhan usia dua sedikit perhatian terhadap tekanan sosial di sekitarnya dan menghabiskan hampir seluruh gajinya demi gaya hidup dan penampilan yang mereka percaya mempengaruhi pekerjaan mereka.

Beban gaya hidup tidak dapat dicoret dari pengeluaran mereka: pakaian dan perawatan tubuh, kongkow dan makan malam di tempat mewah, biaya transportasi naik Ola ** atau Uber karena mereka harus bekerja sampai satu di pagi hari, dan tagihan kopi Starbucks yang akan dibeli membuat rapat klien. Tidak lupa, sepatu hak tinggi dan gaun.

Jika keseimbangan ini sekarat pada saat 20-an, berpikir mereka kembali tidak mungkin segera, tetapi kemudian: kenaikan gaji, waktu bisa menjadi promosi, atau mudah-mudahan lebih baik orang tua ingin mentransfer uang.

Pengaruh mereka sangat luas. inspirasi mereka berasal dari kisah pengusaha muda yang meminjam uang dari modal untuk membangun bisnis, yang ia berhasil bermain setiap uang perak dalam seratus kali. Tapi cerita yang mereka dengar adalah tentang Mukesh Ambani, yang mewarisi sebuah perusahaan besar kemudian dapat membangun sebuah istana megah, bukan Dhirubhai, yang tinggal di sebuah rumah kecil dan membangun sebuah perusahaan besar. Cerita-cerita yang mereka dengar tentang adalah Katrina Kaif yang menghabiskan 50 ribu rupee atau sekitar Rp100 juta untuk mewarnai rambutnya. Itu sebabnya mereka berpikir bahwa untuk membuat banyak uang, kita harus menghabiskan banyak uang pula.

Demi studi di perguruan tinggi baik, kami bersedia untuk keluar uang besar untuk gaji enam bulan. Demi pekerjaan, kita menggunakan tabungan untuk sekolah sampai S3 jika diperlukan. Demi promosi, kita membeli baju dan minuman perjamuan.

Kami mencari demi sebuah pekerjaan impian, tetapi lupa bahwa sebagian besar gaji kami dipotong untuk digunakan untuk menonton pekerjaan yang cocok sekarang.

Setiap berita utama surat kabar dan media mengenakan apa yang harus kita makan, layar dan gunakan untuk menjadi sukses. Di mana kamu bepergian, apa parfum yang kita pakai, mobil apa yang harus kita jalankan. Tapi mereka tidak mengajarkan kita bagaimana untuk membayar untuk itu.

Apa yang tersisa dari kita adalah sekelompok dua dekade tua, yang mencoba melarikan diri kucing identitas memakan nasi dan es teh manis, demi burger mengkonsumsi seharusnya dan cola. Dari kemudian jalankan lagi demi kipas rusak keju dan sampanye.

Ketika saya mulai hidup mandiri, sekitar 15 tahun yang lalu, hanya gaji saya
Saya whatsapp dia. Itu satu-satunya cara mengobrol empat mata tanpa ketahuan orang lain.

“Kamu punya uang untuk makan siang, gak?”

Ternyata dia memang lagi bokek.

Dia bilang kalau lagi punya uang, dia sabar-sabar menahan lapar biar bisa mampir ke Le Pain Quotidien* untuk beli sandwich sisa harian yang didiskon jadi 200 rupee atau sekitar Rp40 ribu kalau malam.

Padahal dengan uang segitu, dia bisa beli makanan di kantin. Tapi menurutnya, makan tidak lebih penting dibanding eksis untuk makan roti di Le Pain Quotidien.

Inilah kaum miskin urban, gejala yang lagi melkamu sebagian besar orang India. Mereka sebenarnya sama sekali tidak “miskin”. Tapi mereka lapar dan bokek. Inilah wujud masyarakat metropolitan umur dua-puluhan yang terlalu memedulikan tekanan sosial di sekelilingnya dan menghabiskan hampir seluruh gajinya demi gaya hidup dan penampilan yang mereka yakini berpengaruh pada pekerjaan mereka.

Beban gaya hidup ini tidak bisa dicoret dari daftar pengeluaran mereka: baju-baju dan perawatan tubuh, kongkow dan makan malam di tempat mewah, biaya transport naik Ola** atau Uber karena harus kerja sampai jam satu pagi, dan tagihan kopi Starbucks yang harus dibeli buat ketemu klien. Tidak lupa, sepatu hak tinggi dan gaun.

Kalau saldo rekening sudah sekarat di tanggal 20-an, mereka berpikir balasannya tidak mungkin saat itu juga, tetapi nanti: waktu gaji naik, waktu dapat promosi jabatan, atau syukur-syukur orang tua lagi baik mau transfer uang.

Pengaruh mereka luas. Inspirasi mereka datangnya dari kisah para pengusaha muda yang pinjam uang dari perusahaan modal untuk membangun bisnis, yang katanya berhasil memutar setiap perak uang menjadi seratus kali lipat. Tapi kisah yang mereka dengar adalah tentang Mukesh Ambani, yang diwarisi perusahaan besar kemudian bisa membangun istana megah, bukannya tentang Dhirubhai, yang tinggal di rumah kecil dan membangun perusahaan besar. Kisah yang mereka dengar adalah tentang Katrina Kaif yang menghabiskan 50 ribu rupee atau sekitar Rp100 juta rupiah untuk mengecat rambutnya. Itulah sebabnya mereka meyakini bahwa untuk menghasilkan banyak uang, kita harus menghabiskan uang yang banyak pula.

Demi bisa kuliah di kampus yang bagus, kita rela keluar uang banyak untuk bayar semesterannya. Demi dapat pekerjaan, kita habiskan tabungan untuk sekolah sampai S3 kalau perlu. Demi promosi jabatan, kita beli jas dan minuman jamuan.

Kita berpenampilan demi pekerjaan yang diimpikan, tetapi lupa bahwa sebagian besar gaji kita yang terpangkas untuk itu seharusnya digunakan untuk berpenampilan sesuai pekerjaan yang sekarang.

Setiap koran dan media memasang tajuk utama tentang apa yang perlu kita makan, tampilkan, dan pakai untuk jadi sukses. Ke mana kita harus liburan, apa parfum yang kita pakai, mobil apa yang harus kita kendarai. Tapi mereka tidak mengajarkan kita cara membayarnya.

Apa yang tersisa di diri kita adalah segerombolan anak umur dua-puluhan yang berusaha lari meninggalkan identitas pengonsumsi nasi kucing dan es teh manis, demi disangka pengonsumsi burger dan kola. Dari situ kemudian lari lagi demi dikira penggemar keju dan champagne.

Waktu saya mulai tinggal mandiri, sekitar 15 tahun lalu, gaji saya cuma 10.000 rupee. Untuk kontrak rumah habis 4.000 rupee, penitipan anak 4.000 rupee, dan 2.000 rupee sisanya untuk ongkos dan listrik. Untuk belanja kebutuhan sehari-hari, saya pakai kartu kredit. Saya masih umur 25 tahun, anak saya satu tahun, dan kadang kami beli es krim, nonton bioskop, atau menikmati hiburan juga pakai kartu kredit. Ketika pindah kerja dengan gaji yang lebih tinggi, kartu kredit saya mencapai limitnya dan harus segera dibayar. Selisih kenaikan gaji itu saya gunakan untuk melunasi, karena saya sudah memakai uang yang malah belum saya terima.

Cepat saya pahami, bersama kenaikan gaji, biaya kebutuhan juga semakin tinggi. Selama menjalani pekerjaan saya yang pertama, rasanya punya satu jins dengan tiga atasan yang dipakai bergantian tiap hari juga sudah cukup. Jabatan yang semakin meningkat membuat saya perlu pakaian yang lebih bagus. Saya diharuskan tampil “berwibawa”. Makan siang di sini, senang-senang di situ, lalu rapat di kedai kopi mewah.

Saya berusaha keras menentang lingkungan yang bersekongkol menjerat profesional muda ke jurang kebangkrutan. Saya selalu menghitung dalam hati sebelum memutuskan beli sesuatu. Terkadang saya hanya beli satu botol bir dan meminumnya sedikit-sedikit.

Sekarang, di mana pun, saya bisa menebak mana orang-orang yang di ambang kebangkrutan: vegetarian yang tidak makan salad pembuka, orang yang cuma minum air putih, atau junior yang mengaku sudah makan untuk menolak tawaran makan malam. Dan ketika, setelah makan bareng, orang yang bersama mereka dengan santainya mengajak untuk patungan, kelihatan mereka inilah yang pura-pura menunduk.

Saya juga pernah seperti itu. Kita tidak bisa menolak ajakan seperti itu karena nanti kita terkesan pelit. Jadi, terlepas dari apakah kita mampu membayar makanan yang memang kita pesan untuk kita sendiri, mau tidak mau kita juga harus ikut bayar makanan yang dipesan teman kita.

Kemudian, recehan logam terasa sangat berharga. Kita mencari-cari recehan yang menyelip di pojok sofa. Kita menunggu kantor sepi lalu naik bus pulang ke rumah.

Sekarang, saya kadang sengaja berpapasan dengan teman kantor yang masih junior dan bertanya, “Udah makan belum? Saya traktir kopi, yuk? Nanti pulangnya mau bareng, nggak?” Terkadang, mereka gengsi dan menolak tawaran itu. Terkadang juga, gengsi mereka runtuh dan mereka mengangguk.

Orang tua mereka, generasi yang jarang berdiskusi soal uang, mengajari mereka bahwa tidak ada harga yang terlalu mahal untuk kebahagiaan diri sendiri. Kalau orang tua mereka menelepon dan menawarkan diri mentransfer mereka uang, mereka bilang tak perlu, semuanya masih bisa diatur. “Iya, Pah, makannya dijaga kok, di kantor baik-baik saja.” Dibesarkan oleh orang tua yang mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan mereka, anak-anak ini sebenarnya diam-diam belajar hidup prihatin.

Orang yang bisa melewati masa sulit selalu dilabeli “tangguh”, padahal “tangguh” berarti perut lapar dan isak tangis yang tertahan. Terkadang, saya merasa saya sudah melalui masa-masa itu.

Baru-baru ini, saya sedang mewawancarai seorang pelamar yang memotong pertanyaan saya hanya untuk bilang, “Sis, supir saya HP-nya lebih bagus dari punyamu,” sambil tertawa. “Beli iPhone, kek!”

Penampilan saya sudah mentereng. Saya punya rumah. Tabungan juga lebih dari cukup. Tapi bahan ledekan kok tidak juga berubah selama 10 tahun.

Bulan lalu, saya mulai nge-twit kaum miskin urban ini, dan banyak yang merespon, “saya juga”.

Satu orang mengaku bahwa selama tiga tahun di Jerman, dia cuma makan tomat, menghemat uang agar bisa beli coklat untuk keluarganya ketika pulang kampung. Ada yang bilang, “Semuanya baik-baik saja kok!” lewat telepon jarak-jauh ke kampung halaman hanya agar ibunya berpikir pengorbanan ibunya menjual gelang untuk ongkosnya mengembara tidak sia-sia.

Ada yang tidur di kasur single dan menyimpan sepatu kets di kolong meja kerja untuk dipakai jalan kaki sepanjang 8 km saat pulang kantor setiap malam.

Saya juga pernah dengar cerita soal anak-anak bagian pemasaran yang kelaparan setiap hari hanya untuk ngopi di hotel bintang lima.

Ada juga seorang ayah yang tidak pernah liburan selama 13 tahun hanya agar bisa membiayai pendidikan anaknya di luar negeri.

Ada yang pernah bertahan seharian hanya minum air dan menumpang di truk untuk berangkat ke kampus.

Ada yang dijuluki pelit karena tidak pernah makan di luar.

Di negara yang wabah kelaparan nyata terjadi di mana-mana, “kelaparan” yang semacam ini datangnya dari pilihan gaya hidup. Entah bagaimana, kita telah membangun budaya yang menempatkan penampilan sebagai nilai utama, hingga kita rela menghabiskan banyak uang untuk kelihatan kenyang ketimbang menyisihkan sedikit uang untuk benar-benar makan.

 “Kelaparan” ini menyentuh setiap orang dengan cara yang berbeda-beda—bisa sementara atau selamanya, bisa ringan atau parah, bisa sekali atau berkali-kali. Tapi sekali kita menyadari hal itu di sekeliling kita, sulit sekali untuk mengabaikannya. Kita jadi anggota suatu kaum yang mengerti kenapa rekan kerja kita tumben-tumbennya bawa bekal makan, kelihatan kurusan, dan menghabiskan waktu sampai malam di kantor agar tidak perlu bayar jemputan. Kalau dahulu, walau sebentar, kita pernah merasakan “kelaparan” seperti itu, kita akan sadar bahwa ternyata semua orang pun begitu.


Catatan Kaki:

*) restoran roti mewah dari Brussel yang kini telah terwaralaba secara internasional
**) layanan transportasi daring yang populer di India 

0 Response to "Mengenal Kaum Miskin Urban, Tidak Punya Duit Tapi Pengen Terus Eksis"

Post a Comment